9 Januari 2015

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 29



             Rangga menghentikan langkahnya. Matanya mengikuti jalan pria itu. Arah pria itu muncul adalah ujung koridor. Rangga mengalihkan tatap matanya ke ujung lorong. Ujung lorong, bukankah itu kamarnya?!!

             Brakkk!!

             “Kok loe di sini?!!” pertanyaan Rafael menyambut Rangga begitu ia membuka pintu apartemen. Nafas Rangga ngos-ngosan. Entah bagaimana caranya, dia berhasil membawa tasnya sampai di depan pintu.

             “Itu tadi siapa?!!”

             “Ha?” Rafael terbengong-bengong mendengar pertanyaan Rangga.

             “Itu yang tadi!!”

             “Loe masuk aja dulu! Loe ngomong nggaj jelas banget!! Tanya yang bener! Duduk dulu!!” perintah Rafael.

             “Tadi... ada bapak-bapak pakek jaket item, papasan sama gue di depan!”

             “Ooh...” Rafael membuka kulkas, “Pak Ikhsan...”

             “Pak Ikhsan siapa??”

             Rafael mengambil sebotol minuman dingin, “Bawahannya Pak Hartono. Tadi bawa foto jam tangan ke sini, katanya nemu di TKP. Dia nanya itu milik siapa.”

             “Terus?”

             “Ya gue jawab nggak tahu, lah. Lagian jam tangannya juga jelek, gue yakin bukan punya loe, atau bisma, atau anak-anak lain. Paling-paling punya orangnya Tomy Huang.”

             “Polisi sering ke sini?!”


             Rafael tersenyum, “Nggak....” jawabnya singkat lalu melenggang ke kasur.

             Rangga memicingkan matanya. Diletakkannya tasnya di sofa. Dengan terburu-buru dia membuka laci lemarinya. Diambilnya kunci mobilnya. Dan dalam sekejap mata, Rangga kembali menghilang dari apartemen.

             “Oh, iya, tadi malam anak-anak beli pizza masih sisa. Loe kalo lapar ambil aja di kulkas.”

             “.........”

             “Rang?!”

             “.........”

             “Rangga?!!” Rafael bangkit dari tidurnya. Dilihatnya Rangga telah lenyap dari apartemen.

             ****************

             Interogasi cuman satu hari? Manajemen sudah menutup kesaksian? Bullshit! Menghalangi polisi memecahkan kasus sama saja dengan melindungi pelaku dan bisa terancam pidana! Bego banget selama ini Rangga percaya perkataan Om Panchunk dan Rafael! Kasus itu belum ditutup. Bahkan polisi masih melakukan penyelidikan dan menginterogasi kawan-kawannya secara sembunyi-sembunyi.

             Rangga melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Tiap ada celah, Rangga langsung menyalip. Matanya mencari-cari mobil sedan berwarna abu-abu dengan bodi mobil dipenuhi sticker khas kepolisian.

             Langit bersemburat merah. Senja mulai menjelang. Jalanan kota Jakarta padat merayap. Jika tak salah, ketika papanya menurunkannya di depan apartemen tadi, sepintas Rangga melihat mobil kepolisian. Bodohnya dia tidak mengingat plat nomornya. Saat itu otaknya sedang dipenuhi ceramahan papanya yang udah menjelam menjadi Ustad Yusuf Mansyur.

             Lampu lalu lintas berubah merah. Rangga terjebak di antara tumpukan kendaraan. Kepala Rangga celingak-celinguk. Tanpa sengaja dia melihat mobil polisi yang dia cari-cari. Buru-buru Rangga membuka kaca mobilnya.

             BRAVOO!!! Seru Rangga dalam hati. Akhirnya ketemu juga. Dia harus berhasil bertemu dengan polisi itu dan menanyakan semua pertanyaan yang memenuhi otaknya selama ini.

             Lampu lalu lintas berubah hijau. Rangga bersiap tancap gas. Maksud hati ingin menghampiri mobil sasarannya, tapi gagal. Rangga malah terjebak arus mobil. Bodohnya ia meletakkan mobilnya di lajur lurus. Sementara mobil polisi yang ia cari-cari berada di lajur belok ke kanan.

             “MINGGIR WOOOY!! MINGGIRRR!!!”

             Rangga berteriak-teriak dari dalam mobil. Tiap ada mobil depannya, Rangga klakson dengan kencang. Dia berusaha membelokkan mobilnya di tengah puluhan kendaraan yang memenuhi persimpangan jalan.

             “Punya mata kagak?!! Gue mau belok!!”

             “Loe yang nggak punya mata!!!” balas seorang sopir taksi.

             Rangga mendengus. Sekenanya memutar kemudi, yang penting tancap gas. Sekian menit bergumul di tengah persimpangan jalan, Rangga akhirnya bisa terbebas dan berada di lajur di mana mobil polisi yang dia cari tadi berada.

             Rangga menambah kecepatan mobilnya. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil orang. Dalam hati dia mengumpat, kampret tuh sopir taksi! Gara-gara dia Rangga kehilangan jejak. Ngilang kemana lagi itu polisi?

             Kian lama langit kian gelap. Sudah ratusan meter Rangga menyusuri jalan, tapi mobil polisi yang ia cari tak kunjung kelihatan. Apa belok? Apa berhenti di suatu tempat?

             Di depan sebuah pom bensin, pencarian Rangga bersua. Dilihatnya mobil sedan abu-abu itu berhenti di tepi jalan. Begonya, Rangga malah kebablasan. Rangga menyadari mobil polisi itu setelah melewatinya sekian meter.

             Lagi-lagi Rangga membuat keributan. Dia ngerem mendadak di tengah jalan. Beruntung mobil box di belakangnya langsung berhenti. Rangga berusaha untuk putar balik.

             “Udah bosen idup loe?!!” kali ini bapak-bapak tukang ojek yang ngebentak Rangga.

             “Tabrak kalo berani!!!” tantang Rangga masa bodo.

             Putar balik berhasil. Rangga menyelinap ke lajur di sebelahnya. Ia kembali ke pom bensin di belakangnya. Mobil polisi itu sudah di depan mata. Rangga bersiap menyeberang.

             Tapi Rangga terlambat. Polisi berjaket kulit itu baru saja kembali dari rumah makan dengan membawa sebungkus keresek hitam.

             “Paaaakkkkk!!!! Paaaakkkk!!!”

             Rangga berteriak-teriak dari seberang jalan. Ia berusaha mengalihkan perhatian Pak Ikhsan.

             Nihil! Polisi berjaket hitam itu dengan santainya masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobilnya ke arah berlawanan.

             “Kampret!! Budek amat tuh bapak-bapak!!!”

             Rangga mencari akal. Kali ini dengan cara yang lebih cerdik. Rangga memanfaatkan lahan pom bensin untuk putar balik. Mobilnya menelusup di antara kendaraan yang sedang antri isi bensin. Petugas pom hampir saja dia serempet. Di luar semua kegilaanyya, Rangga cuman memanggil-manggil nama Pak Ikhsan. Mirip emak-emak lagi nyariin anaknya yang tersesat di mall.

             Sesi pengejaran selanjutnya, kali ini Rangga tidak akan melepaskan Pak Ikhsan. Tangannya erat mengenggam kemudi mobil. Sorot matanya menyala-nyala. Mobil Pak Ikhsan terpaut tiga mobil di depannya. Tiap kali mau menyalip, Rangga selalu dihalang-halangi mobil di depannya.

             “Mobil kampret!! Minggir woooy!! Wooooyyy!!!”

             Keadaan menjengkelkan itu berlangsung hampir setengah jam lamanya. Rangga berusaha mencapai mobil Pak Ikhsan, namun ada saja mobil yang menjadi penengah di depannya. Rangga berharap Pak Ikshan berhenti di suatu tempat, atau kembali ke markasnya, sehingga Rangga bisa langsung menemuinya dan menghentikan aksi kejar-kejaran yang melelahkan ini.

             Tapi harapannya nihil, mobil Pak Ikhsan terus saja melaju. Bahkan kian lama kecepatannya kian bertambah. Markas kepolisian mana yang ia tuju? Kenapa sejauh ini? Entah Pak Ikhsan sudah membawa Rangga ke Jakarta bagian mana. Gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ciri khas Jakarta mulai tidak nampak. Keadaan gelap gulita. Lampu jalan hanya beberapa saja yang menyala.

             Tiba-tiba mobil Pak Ikhsan membelok ke sebuah gang sempit. Rangga tersentak kaget. Lagi-lagi dia kebablasan. Buru-buru dia putar balik. Bahaya jika dia kehilangan jejak Pak Ikhsan di daerah antah berantah ini. Rangga menyusul Pak Ikhsan ke sebuah gang kecil.

             Gang sempit itu hanya muat untuk satu mobil. Kanan kirinya dibatasi pagar tinggi. Sangat sepi. Terasa dunia lain bagi sebuah ibukota megapolitan semacam Jakarta.

             Rangga mulai merasa ada yang tidak beres. Kenapa Pak Ikhsan pergi ke tempat semacam ini? Markas polisi mana yang lokasinya terpencil seperti ini? Atau jangan-jangan, mobil tadi bukan mobil polisi?

             Puluhan meter Rangga menyusuri gang sempit tidak berujung itu. Di tengah pengejarannya, Rangga dikagetkan dengan mobil Pak Ikhsan yang teronggok di tengah jalan. Rangga seketika menghentikan mobilnya. Ia menyorotkan lampu mobilnya ke depan. Benar itu mobil yang ia kejar tadi. Tergeletak begitu saja di tengah gang. Pintu depan terbuka. Seperti ditinggalkan secara tergesa-gesa oleh pemiliknya.

             Rangga membuka pintu mobilnya. Ia menghampiri mobil sedan abu-abu di depannya itu dengan penuh penasaran. Rangga melongokkan kepalanya ke kursi kemudi.

             Kosong.

             Aneh! Mesin mobil sudah dimatikan. Namun Rangga masih bisa mencium gas buangnya. Mobil itu ditinggalkan tak lebih dari lima menit. Mungkin ketika Rangga kebablasan tadi, Pak Ikhsan keluar dari mobilnya. Tapi... kemana?

             Rangga celingak-celinguk. Tapi pandangannya terbatas oleh gelap malam. Lalu dari sisi kiri mobil, tanpa diduga, sebuah sosok menyergap Rangga dari belakang.

             “JANGAN BERGERAK!!!”

             Rangga didorong ke bodi mobil. Tangannya dibekuk ke belakang. Sebuah logam dingin menempel di kepalanya. Rangga melirik, PISTOL??!!

             “AAAAA!!! AMPUN, PAK!! AMPUN!! PAAAKKK!!”

             “Jangan melawan!!”

             “Enggaaakkkk!! Enggak melawaaannn!! Iya! Iya!! Jangan tembak!”

             Pria itu mulai meraba-raba saku baju Rangga. Dimulai dari saku baju sampai ujung sepatu. Rangga hanya bisa komat-kamit sambil melirik senjata api di kepalanya.

             “Mana senjatamu?!!” tanya pria itu garang.

             “Senjata apa, Pak?!! Ampun, Pak!! Jangan tembak, Pak! Jangan tembak! Jangan tembak!! Jangan tembakk!!”

             “JAWAB YANG BENER!!”

             “Uuuuu-udah bener, Pak!! Udah bener!!” suara Rangga gemeteran.

             “Nggak ada pisau?!!”

             “Nggak ada, Pak!! Please! Please!! Jangan tembak, Pak!!”

             “YANG JELAS KALO NGOMONG!!”

             “NGGAK ADA PISAU PAAAKKK!!” Rangga mengeraskan suaranya.

             “Saya tembak kamu!!”

             “Saya nggak bersalah, Pak!! Saya warga negara yang baik, Pak! Bukan orang jahat!!”

             Pria tinggi yang membengkuk Rangga itu mulai curiga. Dia memandangi Rangga dengan muka cengo.

             “Saya nggak pernah nyuri apa-apa, Pak! Saya nggak punya pistol! Nggak punya pisau juga! Ada sih di apartemen, tapi biasanya dipakek masak! Bukan buat bunuh orang, Pak! Saya orang baik Pak!! Percaya sama saya”

             “DIAMM!!!” bentak pria itu.

             “Eh, diam! Eh, iya diam!!”

             “Kamu bukan Sumaryo?”

             “Ha?” Rangga melongo.

             “JAWAB!!!”

             “Ah,, Bukan bukan bukan bukan bukan!!”

             “Kamu temannya Sumaryo?!!”

             “Sumaryo siapa, Pak? Saya nggak kenal sama yang namanya Sumaryo! Teman saya namanya Bisma, Reza, Ilham, Rafael, Dicky. Kagak ada yang namanya Sumaryo.”

             Pria itu diam. Tidak bertanya-tanya lagi. Rangga masih kaku menempel di bodi mobil. Tangannya dipegang erat ke belakang. Pelan-pelan ia mulai bisa bernafas dengan lega. Pistol di kepalanya mulai dilepas.

             “Mungkin temen SMA saya, Pak. Coba saya lihat dulu fotonya, kali aja saya ingat. Saya sering ketuker soalnya, mana Sumaryo dan mana Sukandar.”

             “Nama saudara siapa?”

             Nada bicara pria tinggi itu tiba-tiba berubah. Dengan sopan dia memanggil Rangga ‘saudara’. Suaranya juga dikecilkan.

             “Sa-saya?” ulang Rangga bingung.

             “Nama lengkap dan tempat tinggal?”

             “Ss...saya, Rangga Dewamoela Sukarta, tinggal di Bandung, Jalan HOS Cokroaminoto nomor 34 B. Depan indomart ke kanan dikit. Sampingnya Masjid Al Mubarok. Sekarang tinggal di Jakarta, Daerah Menteng, Komplek Apartemen Buana Indah, nomor 208. Nomor telepon kosong-delapan-lim.....”

             “Cukup...”

             Pria itu melepas cengkeramannya dari tangan Rangga. Dia mundur selangkah ke belakang. Sebelah tangannya memasukkan pistol revolver ke tempatnya semula di samping pinggangnya.

             Rangga menarik nafas panjang. Tubuhnya masih kaku kayak es batu. Dia pelan-pelan menoleh ke belakang. Dalam hati membaca bismilah berkali-kali. Begitu ia menghadap ke belakang, jelaslah kini bagaimana wajah pria yang tadi menyergapnya dan hampir meletuskan pistol di kepalanya. Wajah teduh pria berumur empat puluhan. Rambutnya cepak rapi. Alisnya tebal. Benar, dia pria yang berpapasan dengan Rangga di apartemen tadi sore. PAK IKHSAN!!!

             “Saya minta maaf! Saya salah orang! Saya pikir, Anda salah satu buronan yang saya cari...”

             Rangga menelan ludah. Salah orang mata loe kelilipan ban mobil?!! Hampir aja bikin orang mati jantungan!! Seenaknya main sergap anak orang!! Dia pikir ditodong pistol begitu enak?!! NGGAK BISA NAFAS WOYY!!

             “Iya, enggak apa-apa... hahaha!!” balas Rangga ramah. Menyembunyikan semua kejengkelannya di dalam hati.

             “Aaaahahaha!” Pak Ikhsan ikutan ketawa.

             Rangga menghentikan tawanya. Malah ketawa tuh om-om! Seneng abis nyiksa anak orang?!!

             “Saya terbawa suasana. Saya sedang melakukan penyelidikan sebuah kasus. Saya banyak menemui masalah sejak ditugaskan di kasus ini, jadi... ya begitulah... hahahah!” Pak Ikhsan tertawa dengan lantangnya.

             “Masalah gimana, Pak?” tanya Rangga.

             “Ya, masalah yang begitu lahhh... diteror lewat telpon. Kadang-kadang diiikutin orang. Tadi, sejak dari arah Pancoran, Anda mengikuti mobil saya terus-terusan. Tapi kayaknya, itu cuma perasaan saya. Saya salah paham.”

             Jlebb!! Rangga cuman bisa manggut-manggut. Itu beneran mah, Rangga emang ngejar Pak Ikhsan. Ternyata Pak Ikhsan menyadari keberadaan Rangga. Tapi dia malah disangka sebagai buronan polisi.

             “Saya Ikhsan Feriyanto. Panggil saja Ikhsan. Kalau saudara?” polisi itu menyodorkan tangannya ke hadapan Rangga.

             “Saya... Rangga, Pak...”

             “Oh, iya, sudah kenalan ya tadi... hahaha!” lagi-lagi Pak Ikhsan tertawa dengan kencang, “Yang tinggal di komplek Buana Indah itu ya? Hahah! Eh? Lho saya tadi sore dari sana!!”

             “Iya, Bapak bertemu dengan Rafael Landri Tanubrata kan? Apartemen nomor 208!”

             “Kok Anda tahu?”

             “Saya temannya Rafael!!”

             “Oooh... eh? LOH?!! ANDA INI JANGAN-JANGAN RANGGA DEWAMOELA SUKARTA!! YANG TERLIBAT KASUS PEMBONGKARANG MAFIA HUMAN TRAFFICING 8 FEBRUARI KEMAREN DI DAERAH KALIBARU?!! IYA?!! IYA KAN??!!”

             Rangga menjauhkan kepalanya satu jengkal ke belakang. Tuh bapak-bapak suaranya gede banget kayak terompet tahun baru. Ngomong biasa aja udah keras suaranya. Nggak perlu teriak-teriak juga kale!

             “Benar Anda ini Rangga Dewamoela Sukarta?!!”

             “Iya, Pak! Rangga, Kan tadi udah disebutkan lengkap, Pak...”

             “Anda kok di Jakarta??”

             Makin lama pertanayaan Pak Ikhsan makin kelihatan bego. Nanyain nama Rangga sampe tiga kali. Dan sekarang malah nanya kenapa Rangga di Jakarta. Udah dijelasin tadi kalo Rangga tinggal di Jakarta. Kenapa nanyanya belibet begono? Pasti habis ini nanya, apakah Anda manusia?

             “Iya! Saya emang di Jakarta! Kan tadi udah saya bilang di awal!”

             “Bukan begitu!! Atasan saya bilang, Anda ini sedang dirawat di Singapura karena mengalami luka parah waktu penyergapan kemarin. Katanya Anda mendapat pukulan keras, Anda mengalami pendarahan otak dan koma. Anda sempat di rawat di Dharma Husada, tapi kemudian dirujuk ke Singapura untuk operasi.”

             Rangga mangap.

             WHAT?!!!

             “Di berkas saya, laporannya begitu! makanya kita mewakilkan kesaksian pada Saudara Saiful! Eh kok Saiful... Rafael!”

             “Saya koma?!!!” ulang Rangga tidak percaya.

             “Iya, koma. Katanya juga, Anda patah tulang di bagian lengan.”

             “Naudzubillah!!! Amit-amit!! Yang ngomong gitu siapa?!!”

             Pak Ikhsan menggeleng, “Di laporan yang saya dapat begitu.”

             “Yang bikin laporan itu siapa?!!”

             Pak Ikhsan menggeleng lagi, “Laporan ini? Ya dari bagian penyidik! Sudah disebar ke semua bagian! Sudah diberikan pada jaksa umum juga!”

             What the hell!!!

------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 30
(nggak nyangka ye udah part 30....)

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar